Nama
: Chairil
Anwar
TTL
: Medan, 26 juli 1922
Pekerjaan
: Penyair
Kebangsaan
: Indonesia
Orang tua
: Toeloes (ayah) dan Saleha (ibu)
Chairil
Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang
cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi.
Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini
begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang
berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian
benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi
itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta Sesudah nenek, ibu adalah wanita
kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya,
Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan
ibunya.
Chairil acapkali kehilangan sisinya yang
liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak
kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul
Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika
semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya
ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun
dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan
itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala.
Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan
oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia
dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik. Kedua orang tuanya
bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan,
sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup
mengesankan dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya
meninggal dunia.
Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School
(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.
Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum
lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang
berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak
membuang waktunya sia-sia, ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya
pengarang Internasional ternama, seperti : Rainer Maria Rike, W.H. Auden,
Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Ia juga
menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
.
Pada saat berusia 19 tahun,
ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada tahun 1940
dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang
telah ia publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai
puisi. Puisinya memiliki berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan,
kematian, individualisme, dan eksistensialisme.
Selain nenek, ibu adalah
wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya,
Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan
ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil
juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah
pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia
berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di
"Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap
terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada
kematian. Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang
di Indonesia yang tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Salah satu puisinya yang
paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau hidup
Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya
sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang
budaya Siasat "Gelanggang" dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan
"Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara
lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu
(1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul
Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak
1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko
Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan
Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
0 comments:
Post a Comment