Bersama
dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau.
Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat
bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang
hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang
basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan
batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam,
sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu
jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu
yang mirip dengan sebuah perahu.
Para
nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu,
gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu,
seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang
mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung
perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?
Hayati
masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya.
Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas
batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus
bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa
sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada
berperi.
“Sukab!
Tunggu aku!”
Di
pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.
“Cepatlah!”
ujar lelaki bernama Sukab itu.
Ternyata
Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan
berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu
cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia
meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah
perahu Sukab.
“Hayati!
Mau ke mana?”
Seorang
nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari
cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya
begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa
sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang,
lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan
jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.
Perahu
Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk.
“Ke
mana Hayati, Mak?”
Nenek
tua itu menoleh dengan kesal.
“Pergi
bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah
tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!”
Lelaki
itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Hayati
dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi
Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya.”
Nenek
yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.
“Dullaaaaah!
Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam
itu!”
Lelaki
yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil
tertawa dari dalam gubuk.
“Cabut
badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain!
Tapi aku lebih suka nonton tivi!”
Angin
bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu.
Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya.
Pada
akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan
perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung
nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.
Menjelang
tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan
apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban
mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.
“Ya,
kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka
tertawa-tawa.”
“Perahu
Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka
tampaknya sangat bahagia.”
“Oh,
ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin,
mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya.”
Nenek
itu memaki.
“Istri
orang di perahu suami orang! Keterlaluan!”
Namun
ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.
“Aku
lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu
begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?”
“Ya,
tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah
penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?”
Melangkah
sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal
sendirian.
“Bermain
cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!”
Ia
menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu
itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria.
“Waleh!
Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?”
Perempuan
bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya
bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya
tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Nenek
tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan
yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk
tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu,
berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah
mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal
jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan
yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah
bertahun-tahun lewat.
Ia
tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah
foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di
dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena
pintu dibuka.
Pandangan
nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.
“Mana
Bapakmu?”
Anak
itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan
ganas.
Nenek
itu lagi-lagi menggelengkan kepala.
“Anak
apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!”
Waleh
hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong.
Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.
Nenek
itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah
dari balik gigi yang gemeletuk itu.
“Aku
sudah tahu…”
“Apa
yang kamu sudah tahu, Waleh?”
“Tentang
mereka…”
Nenek
itu mendengus.
“Ya,
kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji,
begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku
masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak
pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di
atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan
jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya!
Mengerti kamu?”
Waleh
yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi.
“Aku
hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya
dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para
pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si
jalang Hayati!”
Mendengar
ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara.
“Aku
memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan
yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat—dan
jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi
jalan agar mereka bisa dikukuhkan.”
Waleh
yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan
kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali,
matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.
Nenek
tua itu terdiam.
Hari
pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang
di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul
kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba
menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari
ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke
seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering
terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan
pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.
“Aku
orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh
melewati batas pencarian ikan kita,” kata seseorang.
“Sukab
penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar
sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita,” sahut yang lain, “apalagi jika
di perahunya ada Hayati.”
“Apakah
mereka bercinta di atas perahu?”
“Saat
kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka.”
Segalanya
mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah
bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka
alami.
Di
pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu,
menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang
pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka
seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab
dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para
nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.
“Kukira
mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah
pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta…”
Namun
pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat
perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser
bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang
jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu
terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja
sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab
tampak menancap di punggungnya yang berdarah—tentu ikan besar ini yang telah
menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis.
Hayati
tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali.
Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu
sudah kuning sekali—tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup
yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya
mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka
masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.
Namun
keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah
bercinta di atas perahu cadik ini.
Sabang,
Desember 2006/
Merauke,
April 2007.
0 comments:
Post a Comment