Ibu
terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon,
perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu
telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih
terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai
menunjuk keberadaan waktu.
Telepon
berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke
telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula,
deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh.
Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang
terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu.
Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda
kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang
hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama
sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu
teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
”Tapi
inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar
kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’
kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak
alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati
lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak
meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini,
membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku
setelah ditinggal Bapak…”
Ibu
sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu
terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke
sekeliling.
”Bapak…
Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti
ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga
keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara
tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan
kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari
akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat
sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya
harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya…
”Jadi
dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada
suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan
menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa
Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!”
Ia
menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis.
”Tidak!
Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari
diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.”
Ibu
memandang ke arah kursi Bapak.
”Pak,
Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus menerima kenyataan,’
katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati
sekarang. Tapi aku tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan
akhirnya dibunuh.”
Perempuan
dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali.
”Bapak
sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum
dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu
menggelar foto-foto di atas meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang
diculik. Foto orangtuanya, foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu
berkata, ’Kami tahu siapa saja keluarga Saudara.’
”Huh!
Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet! Apalagi maksudnya
kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga bercerita, suatu
hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang memandangi dirinya
waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu
tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya?
Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?”
Saat
Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi.
”Sudah
sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.”
Dipandangnya
kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan jalinan rotan. Jalinan yang
sudah lepas dan ujungnya menceruat di sana-sini.
”Apa
Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi
sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria tertawa-tawa di atas sana melihat aku
membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk kalian
berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian saja.
Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa
salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua
selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?”
Sejenak
Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar.
”Kadang-kadang
aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga
terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak
pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan
lagi.
Jiwa
terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…”
Lantas
nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain.
”….
jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan
tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang
terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam,
seperti palung terpanjang dan terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa,
palung tanpa dasar yang dalam kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala,
berkobar menantikan saat membakar dunia…”
Ibu
mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi
wajahnya.
”Ah!
Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!”
Namun
ia segera melepaskan tangannya.
”Tapi….
bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum
juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.”
Nada
bicaranya menjadi dingin.
”Menculik
anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya
sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?”
Hanya
Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak orang
menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh sendiri.
”Bapak…
aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang
meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang
sama jika teringat kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain
sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan
anak tanpa kejelasan bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa
membawa-bawa perasaannya? Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika
Satria pada suatu hari memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang
mati saja masih bisa kita lihat jenazahnya!”
Seperti
masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang
diajaknya bicara.
”Pak,
Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa
cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah
Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?”
Namun
Ibu segera menoleh ke arah lain.
”Ah!
Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih
dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu
apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya
lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab
sendiri….
”Tapi
apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak
orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan
takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?”
Terdengar
dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam bagaikan lebih malam dari
malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya didengarnya sendiri.
”Bapak,
kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton
televisi, memberi komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk
di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan
pisang goreng yang disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si
Mbok juga sudah meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain
ludruk yang semuanya terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…
”Sebetulnya
memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai
setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu
malam entah karena apa.
”Sudah
sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah
berubah.”
Di
luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi langganan
Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya.
”Bagiku
Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada.
Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang
lagi dari luar negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo
jadi pialang saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata
Bapak dua-duanya pekerjaan ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku,
’apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya
cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu.
”Aku
sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya mengingat-ingat
apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun. Lupa ini-itu.
Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…”
Ibu
tersenyum geli sendiri.
”Tapi
ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, ’Seperti apa Satria
kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya Satria di sana?’, atau
kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak
punya nyali berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata,
sembunyi-sembunyi pula!’
Wajah
Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani
berbunyi.
”Bapak,
kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria?
Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana
dia diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi.
”Kenapa
kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk
di kursi itu seperti biasanya.
”Memang
kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku,
tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa
senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan begitu buruk.
”Duduklah
di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria.
”Ceritakanlah
semua rahasia….”
Ibu
masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan.
”Kursi
itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong. Apakah
semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui
isinya?
”Rahasia
sejarah. Rahasia kehidupan.
”Tapi
ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu.
”Ini
suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….
Telepon
genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil
telepon genggam.
”Pasti
ibunya Saras lagi,” gumamnya.
Tapi
rupanya bukan.
”Eh,
malah Si Saras.”
Ibu
mengangkat telepon genggamnya di telinga.
”Ya,
hallo… “
Setelah
mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu terloncat dari
tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon genggam itu menyetrum.
”Gila!”
Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.
”Para
pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”
0 comments:
Post a Comment